KABUPATEN CIREBON, (CN),-
Ratusan tahun silam, muslim di daerah Trusmi yang kini dikenal sebagai sentra batik di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat tidak ada yang berani naik haji meskipun banyak harta.
Mitos yang menghantui masyarakat tersebut diduga keras akibat rekayasa Van Der Flash yang menjabat Residen Cirebon pada zaman penjajahan Belanda yang memanfaatkan petuah Mbah Buyut Trusmi, sekitar abad ke-18. Rukun Islam yang kelima tersebut diganti dengan upacara adat trundagan.
Dari berbagai sumber yang berhasil dihimpun, ketika menjalankan tradisi “trundagan”, orang tersebut dimandikan terlebihdahulu di balong (kolam) dan sumur keramat Buyut Trusmi di komplek makam Keramat Buyut Trusmi. Kini masuk wilayah Desa Trusmi Wetan, Kecamatan Plered, kabupaten Cirebon.
Berikutnya, yang bersangkutan berpakaian putih-putih seperti pakaian ihram, beberapa jam berdiam di masjid komplek tersebut. Dengan bantuan ilmu ghaib kiyai atau juru kunci pada masa itu, konon orang tersebut mimpi pergi haji.
Bersamaan dengan trundagan, keluarga pelaku trundagan menggelar sedekah berupa selamatan besar di tempat itu dengan biaya yang diperkirakan sebesar biaya orang pergi haji pada masa itu, tetapi orang tersebut tidak mendapatkan gelar haji.
Dari catatan Juru Kunci Kramat Buyut Trusmi, Turjani beberapa waktu silam, masyarakat setempat pada masa itu berinisiatif, daripada untuk pergi haji langsung ke Mekkah lebih baik memberikan sedekah kepada fakir miskin atau masyarakat sekitar dan keluarga yang membutuhkan pertolongan saat itu.
Seiring perkembangan zaman, tradisi trundagan pun akhirnya menghilang. Kehidupan social ekonomi masyarakat setempat juga banyak berubah, tetapi ketakutan untuk menunaikan ibadah haji tetap menghantui mereka, takut mendapatkan celaka di perjalanan. Akhirnya kalau toh ada yang berani berhaji, terpaksa memilih berangkat dari luar Desa Trusmi.
Warga Trusmi yang pertama kali memberanikan diri berangkat haji dari masjid Keramat Trusmi Desa Trusmi yaitu H. Masina pada tahun 1970-an. Dia berhasil mematahkan ketakutan warga Trusmi yang telah berlangsung ratusan tahun itu, H Masina selamat baik saat pergi maupun pulang haji.
Karena menurut keyakinan H Masina, Mbah Buyut Trusmi itu pergi haji sehingga dia memberanikan diri pergi haji dari desa sendiri. Setelah dipelopori H Masina, masyarakat setempat pun berbondong-bondong pergi haji dari desa sendiri.
Sekitar abad ke-18, yang menjadi Residen Cirebon adalah Van Der Flash, meskipun nonmuslim, orang Belanda ini sangat memahami betul agama Islam. Tak heran apabila dengan kemampuannya serta kedudukannya sebagai residen, dia bisa dengan leluasa memengaruhi orang-orang di Cirebon, termasuk daerah Trusmi yang menjadi sentra batik tersebut.
Rupanya Van Der Flash sangat khawatir jika di Trusmi Islam berkembang dengan pesat, sehingga mempropagandakan bahwa orang Trusmi tidak boleh naik haji, padahal, hal itu salah. Sementara Mbah Buyut Trusmi memberikan wangsit kepada anak cucunya, Kamu boleh naik haji kalau sudah cukup syaratnya, jika belum cukup syaratnya tidak boleh.
Sementara oleh Van Der Flash yang disampaikan kepada masyarakat tidak bolehnya saja, syarat-syaratnya tidak disebutkan sehingga terjadi kekeliruan menafsirkan dan terkecoh oleh penjajah tersebut.
Maksud dari cukup syarat-syarat tersebut, artinya telah menjalankan dengan baik rukun Islam yang lainnya yakni membaca dua kalimat Syahadat, salat, zakat dan puasa dalam bulan Ramadhan. Setelah keempat rukun tersebut dijalankan, barulah bagi mereka yang mampu menunaikan ibadah haji. Namun, karena pada masa penjajahan, masyarakat rata-rata bodoh dan ketakutan kepada penjajah, akhirnya menurut saja disesatkan.
Menyinggung tradisi “trundagan”, dalam catatan Turjani menegaskan, tidak ada kaitannya dengan rekayasa Van Der Flash tersebut, sebab trundagan itu intinya adalah memotivasi masyarakat, khususnya di Trusmi untuk gemar bersedekah karena Mbah Buyut Trusmi juga gemar bersedekah.
Dalam acara tersebut yang pernah dilakukan zaman dahulu, yang hendak melakukan trundagan membuat segala macam makanan lalu makanan tersebut dibagi-bagikan kepada fakir miskin , juga tetangga terdekat dan sanak keluarga. Sehingga tidak benar jika ada yang mengatakan trundagan itu merupakan pengganti ibadah haji.
Salah seorang warga Desa Trusmi Wetan, Masa (60), mengakui, menurut cerita orang-orang tua dahulu sebelum tahun 1970-an di daerah Trusmi terdapat tradisi trundagan.
Dia menjelaskan, cerita orang tua zaman dulu orang Trusmi tidak usah pergi haji, yang pergi haji cukup Mbah Buyut Trusmi saja. Namun, pelarangan berhaji tersebut sebetulnya dilatarbelakangi masalah social dan kemungkinan politis pada masa itu.
Tradisi Trundagan tersebut hanya bisa dilakukan oleh orang yang mampu secara ekonomi, karena yang bersangkutan harus memberikan sedekah baik makanan maupun uang yang habisnya senilai Ongkos Naik Haji (ONH) pada masa itu, katanya, Jumat (30/05/2025).
Menurutnya, jika dilihat dari sisi social, trundagan itu sepertinya ada semacam pesan kepada orang yang memiliki rejeki yang lebih (kaya) semestinya harus mau memberikan sedekah terlebih dahulu kepada masyarakat yang ada di sekitarnya, terlebih kepada mereka yang kurang mampu.
Dia menegaskan, larangan orang Trusmi tidak usah naik haji itu sebetulnya menyesatkan, karena kata orang tua dulu, ada sosok yang dikenal dengan Ki Pucuk Umun yang kemungkinan dari bangsa jin atau setan yang memang memengaruhi muslim di Trusmi agar tidak menunaikan rukun Islam yang kelima.(Oke/CN)
